Kamis, 10 Maret 2011

PEMANTAUAN MANGROVE


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia sebagai negara kepulauan yang terdiri lebih dari 17.504 buah pulau besar dan kecil dengan panjang garis pantai sekitar 95.181 km (Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2009). Sebagian daerah tersebut ditumbuhi hutan mangrove dengan lebar beberapa meter sampai beberapa kilometer. Mangrove tumbuh di hampir seluruh pesisir Nusantara terutama di pantau timur Sumatera, pantai barat dan selatan Kalimantan dan pesisir Papua.
Mangrove sebagai salah satu komponen ekosistem pesisir memegang peranan yang cukup penting, baik di dalam memelihara produktivitas perairan pesisir maupun di dalam menunjang kehidupan penduduk di wilayah tersebut. Bagi wilayah pesisir, keberadaan hutan mangrove, terutama sebagai jalur hijau di sepanjang pantai/muara sungai sangatlah penting untuk suplai kayu bakar, nener/ikan dan udang serta mempertahankan kualitas ekosistem pertanian, perikanan dan permukiman yang berada di belakangnya dari gangguan abrasi, instrusi dan angin laut yang kencang.
Kekhawatiran terus menurunnya kondisi hutan mangrove juga terjadi pada hutan mangrove di daerah pesisir pantai. Fenomena ini, jelas akan mengakibatkan kerusakan kualitas dan kuantitas potensi sumberdaaya ekosistem pesisir, di mana hutan mangrove itu berada serta menurunnya, bahkan hilangnya fungsi lindung lingkungan dari hutan mangrove tersebut. Oleh karena itu, untuk mengembalikan fungsi dan manfaat hutan mangrove yang rusak harus dilakukan kegiatan rehabilitasi dengan terlebih dahulu mengetahui kondisi kerusakannya.
Dalam rangka untuk mendukung tercapainya tujuan tersebut, perlu dilakukan identifikasi dan inventarisasi kerusakan kawasan mangrove.
B. Dasar Hukum
Peraturan perundangan tentang mangrove yang berlaku nasional meliputi :
1. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
2. Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil
3. Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
4. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 201 Tahun 2004 tentang Kriteria Baku dan Penentuan Kerusakan Mangrove
Beberapa peraturan di daerah yang mengatur tentang mangrove antara lain :
1. Keputusan Gubernur Irian Jaya Barat Nomor 9 Tahun 2007 tentang Pembentukan kelompok Kerja Mangrove
2. Keputusan Bupati Sinjai Nomor 514 Tahun 2000 tentang Pembentukan Tim Penetapan Jalur Hijau Hutan Mangrove.
3. Peraturan Daerah Kota Bontang Nomor 7 Tahun 2003 tentang Pengelolaan Hutan Mangrove
4. Peraturan Daerah Kota Tarakan Nomor 04 Tahun 2002 Tentang Larangan dan Pengawasan Hutan Mangrove di Kota Tarakan
C. Tujuan
Tujuan dari pemantauan pemanfaatan mangrove adalah :
1. Untuk mengetahui data secara akurat mengenai potensi dan sebaran mangrove yang ada di Indonesia.
2. Untuk mengetahui tingkat kerusakan mangrove di Indonesia
3. Menyediakan sumber data dalam usaha pengawasan, rehabilitasi dan konservasi mangrove untuk unit kerja lingkup Ditjen PSDK maupun instansi lainnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Mangrove merupakan tipe hutan yang khas dan tumbuh di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut (Nontji, 1987). Mangrove banyak dijumpai di wilayah pesisir yang terlindung dari gempuran ombak dan daerah yang landai di daerah tropis.
B. Jenis-jenis Mangrove
Ada banyak sekali jenis-jenis mangrove. Dari ratusan jenis mangrove yang tersebar di seluruh dunia, Menurut Kitamura, S., et al (1997), mangrove dibagi menjadi tiga bagian, yaitu :
1. Mangrove Mayor (komponen utama)
Tumbuhan yang membentuk spesialisasi morfologis seperti akar udara dan mekanisme fisiologis khusus lainnya untuk mengeluarkan garam agar dapat beradaptasi terhadap lingkungan mangrove. Secara taksonomi, kelompok tumbuhan ini berbeda dengan kelompok tumbuhan darat. Kelompok ini hanya terdapat di hutan mangrove dan membentuk tegakan murni, tidak pernah bergabung dengan kelompok tumbuhan darat. Contoh: Bruguiera cylindrica (Tancang), Ceriops decandra (Kenyonyong), dan Rhizophora apiculata (Bakau).
Bruguiera cylindrica Ceriops decandra Rhizophora apiculata
2. Mangrove Minor (komponen tambahan/tumbuhan pantai)
Kelompok ini bukan merupakan bagian yang penting dari mangrove, biasanya terdapat pada daerah tepi dan jarang sekali membentuk tegakan murni. Contoh: Pemphis acidula (Sentigi), Excoecaria agallocha (Buta-buta), dan Xylocarpus granatum (Nyirih).
Pemphis acidula Excoecaria agallocha Xylocarpus granatum
3. Mangrove Associates (Asosiasi Mangrove)
Kelompok ini tidak pernah tumbuh di dalam komunitas mangrove sejati dan biasanya hidup bersama tumbuhan darat. Contoh: Vitex ovata (Legundi), Terminalia catappa (Ketapang) dan Thespesia populnea (Waru laut).
Vitex ovata Terminalia catappa Thespesia populnea
C. Ciri-Ciri Mangrove
Ciri-ciri terpenting dari penampakan hutan mangrove, terlepas dari habitatnya yang unik, adalah :
1. memiliki jenis pohon yang relatif sedikit;
2. memiliki akar tidak beraturan (pneumatofora) misalnya seperti jangkar melengkung dan menjulang pada bakau Rhizophora spp., serta akar yang mencuat vertikal seperti pensil pada pidada Sonneratia spp. dan pada api-api Avicennia spp.;
3. memiliki biji (propagul) yang bersifat vivipar atau dapat berkecambah di pohonnya, khususnya pada Rhizophora;
4. memiliki banyak lentisel pada bagian kulit pohon.
Sedangkan tempat hidup hutan mangrove merupakan habitat yang unik dan memiliki ciri-ciri khusus, diantaranya adalah :
1. tanahnya tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari atau hanya tergenang pada saat pasang pertama;
2. tempat tersebut menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat;
3. daerahnya terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat;
4. airnya berkadar garam (bersalinitas) payau (2 - 22 o/oo) hingga asin.
D. Manfaat Mangrove
1. Manfaat Secara Fisik
a. Penahan abrasi pantai.
b. Penahan intrusi (peresapan) air laut.
c. Penahan angin.
d. Menurunkan kandungan gas karbon dioksida (CO2) di udara, dan bahan-bahan pencemar di perairan rawa pantai.
2. Manfaat Secara Biologi
a. Tempat hidup (berlindung, mencari makan, pemijahan dan asuhan) biota laut seperti ikan dan udang).
b. Sumber bahan organik sebagai sumber pakan konsumen pertama (pakan cacing, kepiting dan golongan kerang/keong), yang selanjutnya menjadi sumber makanan bagi konsumen di atasnya dalam siklus rantai makanan dalam suatu ekosistem.
c. Tempat hidup berbagai satwa liar, seperti monyet, buaya muara, biawak dan burung.
3. Manfaat Secara Sosial Ekonomi
a. Tempat kegiatan wisata alam (rekreasi, pendidikan dan penelitian).
b. Penghasil kayu untuk kayu bangunan, kayu bakar, arang, serta daun nipah untuk pembuatan atap rumah.
c. Penghasil bahan baku industri : pulp, tanin, kertas, tekstil, tinta, plastik, lem, penyamakan kulit, makanan, obat-obatan, kosmetik, dll
d. Penghasil bahan pangan (ikan/udang/kepiting, dan gula nira nipah), dan obat-obatan (daun Bruguiera sexangula untuk obat penghambat tumor, Ceriops tagal dan Xylocarpus mollucensis untuk obat sakit gigi, dan lain-lain).
e. Tempat sumber mata pencaharian masyarakat nelayan tangkap dan petambak, dan pengrajin atap dan gula nipah.
E. Potensi
Berdasarkan data statistik sumber daya laut dan pesisir yang diterbitkan BPS (2009) disebutkan bahwa menurut data FAO (2007) luas mangrove di Indonesia pada tahun 2005 hanya mencapai 3.062.300 ha atau 19% dari luas mangrove di dunia dan merupakan yang terbesar di dunia melebihi Australia (10%) dan Brazil (7%).
Di Asia sendiri luasan hutan mangrove Indonesia berjumlah sekitar 49% dari luas total hutan mangrove di Asia yang dikuti oleh Malaysia (10% ) dan Myanmar (9%). Akan tetapi diperkirakan luas hutan mangrove di Indonesia telah berkurang sekitar 120.000 ha dari tahun 1980 sampai 2005 karena alasan perubahan penggunaan lahan menjadi lahan pertanian (FAO, 2007).
Potensi mangrove yang begitu besar apabila dieksplorasi secara efektif dan berkelanjutan akan memberi manfaat baik langsung maupun tidak langsung kepada masyarakat. Kayu, buah maupun biji-bijian dari mangrove apabila diolah akan mendatangkan manfaat ekonomis bagi masyarakat. Mangrove yang terjaga kelestariannya akan mendatangkan berkah berupa hasil perikanan yang melimpah.
F. Sebaran
Hutan-hutan bakau menyebar luas di bagian yang cukup panas di dunia, terutama di sekeliling khatulistiwa di wilayah tropika dan sedikit di subtropika.
Di Indonesia, hutan-hutan mangrove yang luas terdapat di seputar Dangkalan Sunda yang relatif tenang dan merupakan tempat bermuara sungai-sungai besar. Yakni di pantai timur Sumatra, dan pantai barat serta selatan Kalimantan. Di pantai utara Jawa, hutan-hutan ini telah lama terkikis oleh kebutuhan penduduknya terhadap lahan.
Di bagian timur Indonesia, di tepi Dangkalan Sahul, hutan-hutan mangrove yang masih baik terdapat di pantai barat daya Papua, terutama di sekitar Teluk Bintuni. Mangrove di Papua mencapai luas 1,3 juta ha, sekitar sepertiga dari luas hutan bakau Indonesia.
G. Kerusakan
Berdasarkan data statistik sumber daya laut dan pesisir yang diterbitkan BPS (2009) disebutkan bahwa menurut data FAO (2007) luas mangrove di Indonesia pada tahun 2005 hanya mencapai 3.062.300 ha atau 19% dari luas mangrove di dunia dan merupakan yang terbesar di dunia melebihi Australia (10%) dan Brazil (7%). Akan tetapi diperkirakan luas mangrove di Indonesia telah berkurang sekitar 120.000 ha dari tahun 1980 sampai 2005 karena alasan perubahan penggunaan lahan menjadi lahan pertanian.
Pertumbuhan penduduk yang pesat menyebabkan tuntutan untuk mendayagunakan sumber daya mangrove terus meningkat. Secara garis besar ada dua faktor penyebab kerusakan hutan mangrove, yaitu :
1. Faktor Manusia,
Faktor ini merupakan faktor dominan penyebabkerusakan hutan mangrove dahal hal pemanfaatan lahan yang berlebihan
2. Faktor alam
Faktor alam merupakan faktor penyebab yang relatif kecil seperti gelombang, banjir, kekeringan dan hama penyakit. (Tirtakusumah, 1994)
H. Pemantauan Mangrove
Pemantauan mangrove bisa dilakukan dengan dua cara yaitu :
1. Citra Satelit
Penggunaan citra satelit digunakan untuk memantauan perubahan mangrove yang meliputi keberadaan, sebaran, luasan, zonasi dominasi genus dan tingkat kerapatan kanopi. Citra satelit yang biasa digunakan adalah landsat dan ekonos.
2. Observasi langsung ke lapangan
Cara ini dilakukan dengan menerjunkan personel ke lapangan untuk memperoleh data mengenai kondisi mangrove yang selanjutnya diolah dan dianalisis.

Selasa, 16 September 2008

Seorang pria dengan wajah senang menjawab, ”Alhamdulilah rumah saya selamat, padahal satu komplek tersebut semua hangus terbakar”, ketika ditanya wartawan. Rasa syukur juga sering kita ucapkan tatkala bencana beberapa kali memporakporandakan wilayah Indonesia namun tidak menimpa diri kita.

Apa yang aneh dari ungkapan-ungkapan syukur tersebut? Bukankah ketika kita banyak bersyukur Allah akan melipatgandakan karunianya kepada kita?

Sebagai manusia yang beriman memang sudah seharusnya kita bersyukur atas segala karunia yang diberikan Allah kepada kita. Namun syukur macam apakah yang seharusnya kita lakukan? Syukur mawujud dalam laku hidup kita yang selalu mengabdi hanya kepada Allah. Expresinya terlihat dalam bentuk amalan ibadah maupun akhlakuk karimah.

Akan tetapi dalam diri manusia ada nafsu. Nafsu bisa mengurangi kualitas ibadah bahkan menghancurkan ibadah kita. Ketika selamat dari musibah/bencana yang bersifat massal kita merasa bahwa Allah menyelamatkan kita karena kita sudah banyak beribadah. Kita menyangka bahwa hal tersebut adalah balas jasa Tuhan kepada kita. Sementara yang mendapatkan musibah tiada lain karena mereka banyak melakukan maksiat kepada Allah. Kita seperti menari (baca : bersyukur) di atas kesusahan orang lain. Kata syukur yang kita ucapkan sebenarnya syukurin (bahasa Betawi) lu mampus, nih gue selamet!

Ya Allah mengapa tidak sekalian rumah saya hangus terbakar. Ya Allah muliakanlah mereka yang mendapat musibah. Jadikanlah kami orang-orang yang bersabar. Begitulah kira-kira ucapan kita! (meski mungkin hati kita tetapberucap, ”syukur aku selamat, bukan mereka”)

Senin, 15 September 2008

Selamat Datang

Assalaamu'alaikum Wr. Wb.
Selamat datang di blok saya. Kita bersyukur bisa menjalin silaturahim, bertukar ide untuk meretas hidup yang lebih baik.